Rabu, 08 Desember 2004

Confucius, The Great Teacher of China

Budaya Tionghoa adalah salah satu peradaban tertua di dunia. Sejak kecil, saya yang dididik dalam budaya Tionghoa sering penasaran dari mana asal nilai-nilai yang mendasari budaya itu. Rupanya banyak nilai-nilai kebudayaan Tionghoa berasal dari ajaran Konfusius atau Konfusianisme. Guru besar yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masehi ini merupakan salah seorang paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok. Akan tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh ada baiknya kita mengenal siapakah Konfusius.

A. Who is Confusius?

Konfusius lahir di Kota Chou (Daerah Shan Tung saat ini) pada tahun 551 atau 552 SM dengan nama Kung Chiu, namun ia lebih sering dipanggil guru Kung atau Kung Fu Tzu. Status sosial keluarga Konfusius sampai saat ini menjadi perdebatan, Paul Strathen mengatakan bahwa ayah dai Konfusius adalah pejabat militer rendahan namun Alexanders Simkins menyatakan bahwa ayahnya adalah gubenur Chou. Konfusius lahir ketika ayahnya sudah tua kemudian meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Konfusius menikah di usia 19 tahun namun tidak berhasil sehingga akhirnya bercerai. Ia pernah juga menjadi menteri keuangan dan kehakiman namun ia lebih suka dengan mengajar. Akhirnya ia menjadi seorang pengajar dalam sejarah, syair, pemerintahan, sopan santun, matematika, musik, teologi, dan olahraga. Bisa dikatakan ia adalah universitas satu orang.
Zaman ketika Konfusius hidup adalah era dimana Cina terpecah dalam berbagai negara-negara kecil walaupun masih di bawah otoritas Dinasti Zhou. Negara-negara kecil tersebut saling berperang dan berebut kekuasaan. Perang yang saat itu terjadi telah kehilangan etika misalnya terjadi berbagai anarki sosial, wanita dan anak-anak dibunuh juga dalam perang, dan gaji prajurit didasarkan pada jumlah kepala yang didapat. Atas dasar realita tersebut Konfusius merumuskan ajarannya untuk membuat sebuah dunia yang harmonis. Konfusius akhirnya meninggal di tahun 479 SM di usia 72 tahun.


B. Konfusius’s Word

Setelah ia meninggal, para muridnya mengumpulkan perkataannya dan ditulis dalam sebuah buku berjudul Lun Yu. Ia menekankan bahwa hidup manusia akan berjalan baik ketika setiap orang menjalankan perannya masing-masing. Konfusius menjabarkan ada lima hubungan utama yang membentuk masyarakat yaitu suami-istri, orang tua-anak, saudara tua-saudara muda, tuan-pelayan, dan teman. Dalam ajarannya ia menekankan bahwa masyarakat akan harmonis jika setiap orang menjalankan perannya dengan baik, contohnya penguasa berkelakuan seperti penguasa, pelayan berkelakuan seperti pelayan, ayah berkelakukan seperti ayah, dan anak berkelakukan seperti anak.
Konfusius mengajarkan satu hukum terutama yaitu jangan berbuat apa yang tidak ingin orang lain perbuat padamu. Sepintas kata-kata ini mirip dengan perkataan Akitab, “Apa yang ingin orang lain perbuat padamu, perbuatlah demikian”. Namun terdapat perbedaan yang nyata, Konfusius mengajarkan sesuatu yang bersifat pasif yaitu “Jangan” sementara Alkitab mengajarkan yang bersifat aktif yaitu “Perbuatlah”. Konfusius juga dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, ia pernah mengatakan, “Saya tidak berani dianggap sebagai orang arif bijaksana dan pengasih manusia. Lebih baik aku dianggap sedang berjuang tanpa kenal lelah untuk menjadi arif bijaksana dan pengasih manusia”. Sangat disayangkan Konfusius menolak hukum Kasih yang diberikan Alkitab. Ketika ditanya, “Haruskah kita mengasihi musuh kita, mereka yang mencederai kita?” Beliau menjawab, “Sama sekali jangan! Balaslah kebencian itu secara adil dan cinta dengan kemurahan hati. Jika tidak demikian, kamu menyia-yiakan kebaikan hatimu.”
Ketika ditanya tentang dewa, orang mati, dan kematian, ia selalu mengelak dengan jawaban-jawaban seperti, “Untuk melayani yang hidup saja kamu belum mampu, bagaimana mungkin kamu dapat melayani para arwah?” dan “Tentang hidup pun kamu belum tahu, bagaimana kamu bisa mengerti tentang kematian?”. Dari situ terlihat bahwa ia adalah seorang agnostik dan humanis (agnostik adalah keyakinan bahwa manusia tidak bisa tahu apakah Allah itu ada atau tidak. Sementara humanis adalah keyakinan yang mengatakan bahwa manusialah yang terutama)
Contoh nilai-nilai budaya Tionghoa yang berasal dari ajaran Konfusius adalah kebiasaan ketika seorang anak sudah dewasa maka mereka berkewajiban memelihara orang tuanya. Dari situ dapat tercermin ajaran Konfusius yang mana meminta setiap orang membalas cinta dengan kemurahan hati.
Beberapa pihak mengklaim bahwa ajaran Konfusius bersifat universal dan dapat diterima oleh semua agama, contohnya Singapura memakai Konfusianisme sebagai dasar pendidikan budi pekertinya. Akan tetapi saya secara pribadi tidak begitu setuju dengan klaim ini.

C. My Comment To Konfusius’s Word

Saya belajar tentang Konfusianisme dari kedua orang tua saya, khususnya lewat nasihat-nasihat yang mereka katakan. Banyak perkataan mereka didasarkan pada perkataan Konfusius. Akan tetapi saya baru benar-benar mengerti tentang Konfusius di mata kuliah Filsafat Agama yang diajar oleh Bapak Bedjo S.E., M.Div. Di sana saya mulai mengerti core value dari Konfusianisme
Beberapa hal yang saya sukai dari Konfusianisme adalah ia mengajarkan untuk setiap orang mulai berbuat baik dan menjalankan perannya dengan benar. Bila dilogika ada benarnya jika setiap orang mau mulai berubah maka bukan tidak mungkin dunia akan menjadi lebih baik. Hal lain yang saya suka dari ajaran ini adalah masih bisa diaplikasikan dalam kehidupan saat ini contohnya, Konfusius pernah mengajarkan untuk berfokus pada tujuan-tujuan besar atau hasil akhir bukan keuntungan kecil atau hasil yang instan. Bila diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, sering kali mahasiswa mencontek atau melakukan kecurangan untuk meraih nilai yang bagus, padahal bila dilihat lebih jauh sebenarnya mahasiswa tersebut rugi karena hanya demi nilai sesaat, ia kehilangan nilai kejujuran yang lebih dicari orang dalam dunia kerja.
Namun ada juga bagian yang saya tidak setuju dalam ajaran Konfusius yaitu cenderung bersifat agnostik, seperti yang saya katakan di atas. Agnostik merupakan atheisme yang tersirat karena seharusnya manusia sudah tahu bahwa Allah itu ada lewat kondisi keteraturan di alam ini sementara agnostik mengatakan bahwa manusia tidak mungkin tahu apakah Allah ini ada atau tidak. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan berbagai agama seperti Kristen yang jelas-jelas mengatakan “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”, selain itu umat Islam dan Hindu juga meyakini adanya allah walaupun konsep allah yang mereka sembah berbeda dengan Allah umat Kristen. Jadi Konfusianisme tidak bisa serta merta dijadikan nilai universal bagi semua agama.
By: Bodhiya Wijaya (51407028)
Sumber: Kuliah Filsafat Agama (Dosen: Bedjo S.E., M.Div)

1 komentar:

Stop_Gaptek mengatakan...

teknologi sekarang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita.


panjang banget tulisan kalian.. tapi keren kok.

Stop gaptek sekarang!
God bless Indonesia!

Good job^^
GBU^^